Gading yang Tersesat di Kali
Ketepeng
Subuh yang memanggil membuat
aku bergegas menghampiri pak Warto yang sudah ada di depan kerumunan orang. Entah
apa yang terjadi dengan mereka, tiba-tiba lenyap digerus bisingnya suara pagi. Anak
muda tampak sedikit kusam dengan jas hitam tergantung di lehernya nampak
berbincang dengan mimpinya semalam.
Rupaya hidangan sudah
habis dilahap kumpulan lalat kecil dibalik tumpukan piring. Ia tampak gelisah,
sesekali menyapa jam tangan yang tidak pernah lelah memutar jarumnya. Perasaanya
berkecamuk, semua bersiap di atas barisan motor dan tidak sabar menunggu
aba-aba dari sang pengibar bendera start. Sirkuit lurus dengan sedikit belokan terbentang
diantara hijaunya tanaman padi petani. Sesaat pemotor itu menoleh lepas ke
ujung hijaunya padi melawati jembatan peninggalan kolonial Belanda yang gagah
berdiri dan sedikit lapuk dikikis tangan tangan para korupsi yang tak pernah
peduli untuk merenofasi. Tiba-tiba satu diantara mereka mendadak menarik tuas
rem dengan penuh tenaga, sontak barisan motor yang lainpun hampir saja melibas
anak muda itu, beruntung mereka sudah terlatih.
“Celaka!, kita sudah melangkahi kali itu”
“Kali yang mana?” Tanya seorang dari mereka
“Barusan, kali yang mengalir di bawah jembatan renta”
“Kata Ibu ku, kali itu keramat, kalau kita langgar
pantangannya, mala petaka akan dating”
“Ah!, masih percaya saja kamu, aku sih tidak percaya,
apalagi sekarang zaman yang sudah terang benderang semacam ini.”
“Kamu percaya Li?” Tanya pemuda tadi pada Mali.
“Dari dulu sampai sekarang saya tidak pernah percaya,”
kata Mali. “Dulu katanya mau memperjuangkan nasib rakyat kecil, buktinya mana?
Aku lihat yang miskin makin miskin dan yang kaya semakin kaya.”
Perjalanan dilanjutkan, mengingat
matahari yang sudah tidak bersahabat ingin cepat cepat pulang karena sudah
sedikit lapar. Tidak kalah dahsyat perasaan anak muda tadi yang sudah menunggu
dua puluh tahun setelah burung kecilnya disunat. Di tempat lain nampak
sekrumunan orang dengan perasaan cemas setelah mendengar pegawai pencatat nikah
mau melanjutkan tugasnya dilain tempat.
“Tunggu sebentar pak, mereka
sebentar lagi datang,” kata pak Udin sambil gemetaran melihat pegawai tadi yang
berkumis tebal dengan peci agak sedikit miring. Maklum pak Udin seorang
pedagang bakso keliling yang setiap harinya melayani pembeli dengan ikhlas
tidak terbiasa mengecewakan pelanggan. Dengan sedikit lelah dan gelisah Ia
berusaha menenangkan semua tamu undangan. Benar perkataan pak Udin, rombongan
konvoi itu tiba setelah satu jam. Satu persatu turun dari motornya, di tengah
keramaian penonton berbaju batik mengenakan sarung dan peci. “Alhamdulillah,”
syukur pak Udin di dalam batinnya. Tak menunggu lama acara itu akan segera
dilaksanakan. Sebuah acara sakral awal dari sebuah perjalanan hidup yang
sebenarnya, kata-kata manis dan pujian tidak lagi penentu utama ketentraman
sebuah jiwa.
Pak Udin menghapiri putrinya yang
duduk bingung dan gembira melihat pahlawan hatinya muncul dihadapannya.
Pahlawan yang selalu marah dan murka ketika ada penjajah singgah di hatinya.
Hari itu pun hari pertama kali putri pak Udin mengawali hidup setelah sekian
lama hidup di bawah bayangan Ibunya. Nasihat dan pelajaran yang selama ini
diperoleh kurang lebih dua puluh lima tahun dari orang tuanya akan ia praktikan
diawal kehidupannya. “Pak Udin, apa semuanya sudah siap?” Tanya pegawai
pencatat itu. Acara itu pun akhirnya berlangsung lancar. Namun langit kala itu
sedikit menjegal matahari yang ingin menyapa kerumunan orang disana. Tiba-tiba langit
membentak sekuat-kuatnya seperti aliran listrik berkekuatan jutaan volt
menyambar pohon rambutan di samping rumah pak Udin. Situasi kekacauan terjadi.
Langit yang begitu marahnya hingga meneteskan air matanya yang begitu deras
membuat semua orang kalangkabut meninggalkan jamuan daging rendang komplit
dengan opor ayam yang tak terasa lezat. Mereka
hanya ingin keluar dari amukan raksasa kegelapan yang kelaparan.
Sementara itu, anak muda yang
sempat ingat dengan wejangan orang tuanya, “Nak, jika kamu memulai hidup dengan
orang sebrang kali, kau harus ingat nak, jangan sekali-kali kau langkahi kali
itu.” Kata ibunya. “Memangnya kenapa bu?” sahutnya. “Ah, tidak apa, yang
penting ingat saja apa pesan ibumu ini”. Dalam keadaan masih termenung Ia
kaget, tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan yang gelap dipenuhi semerbak
hiasan dupa yang menyengat. Membuat bulu kuduknya semakin lebat. “Hai anak
manusia!, kenapa kau langgar pantangan dari ibumu?, apakah kau ingin seperti
mereka menjadi anak durhaka?” Tanya sesosok bayangan hitam di depannya. “Tidak
aku tidak bermaksud durhaka pada ibuku, pergi! Pergi kamu!” dengan sekejap
bayangan hitam itu hilang diantara lampu kamar yang menggantung di langit.
“Nak, bangun hari sudah siang, apa kamu tidak
berangkat kerja?”
“Oh, iya bu.., jam berapa sekarang?”
“Sudah jam delapan nak..” Jawab ibunya “Memangnya ada
apa?”
“Ndak bu, aku tadi bermimpi, seolaholah kejadian itu
nyata. Aku teringat kata ibu dulu bahwa kalau kita menikah dengan orang Kajen
kita tidak boleh melitas di atas kali Ketepeng, kita harus memutar melewati
hulu mata airnya di desa Tambakroto.”
Itulah sepenggal kisah yang diwariskan secara
turuntemurun mulai dari zamannya eyang Siti hingga mbak Serli.
Cerita Bermuatan Lokal | Gading yang Tersesat di Kali Ketepeng |
4/
5
Oleh
Aldhel Oezank