Aug 31, 2019

Cerita Bermuatan Lokal | Gading yang Tersesat di Kali Ketepeng |


Gading yang Tersesat di Kali Ketepeng
Subuh yang memanggil membuat aku bergegas menghampiri pak Warto yang sudah ada di depan kerumunan orang. Entah apa yang terjadi dengan mereka, tiba-tiba lenyap digerus bisingnya suara pagi. Anak muda tampak sedikit kusam dengan jas hitam tergantung di lehernya nampak berbincang dengan mimpinya semalam.
Rupaya hidangan sudah habis dilahap kumpulan lalat kecil dibalik tumpukan piring. Ia tampak gelisah, sesekali menyapa jam tangan yang tidak pernah lelah memutar jarumnya. Perasaanya berkecamuk, semua bersiap di atas barisan motor dan tidak sabar menunggu aba-aba dari sang pengibar bendera start. Sirkuit lurus dengan sedikit belokan terbentang diantara hijaunya tanaman padi petani. Sesaat pemotor itu menoleh lepas ke ujung hijaunya padi melawati jembatan peninggalan kolonial Belanda yang gagah berdiri dan sedikit lapuk dikikis tangan tangan para korupsi yang tak pernah peduli untuk merenofasi. Tiba-tiba satu diantara mereka mendadak menarik tuas rem dengan penuh tenaga, sontak barisan motor yang lainpun hampir saja melibas anak muda itu, beruntung mereka sudah terlatih.
“Celaka!, kita sudah melangkahi kali itu”
“Kali yang mana?” Tanya seorang dari mereka
“Barusan, kali yang mengalir di bawah jembatan renta”
“Kata Ibu ku, kali itu keramat, kalau kita langgar pantangannya, mala petaka akan dating”
“Ah!, masih percaya saja kamu, aku sih tidak percaya, apalagi sekarang zaman yang sudah terang benderang semacam ini.”
“Kamu percaya Li?” Tanya pemuda tadi pada Mali.
“Dari dulu sampai sekarang saya tidak pernah percaya,” kata Mali. “Dulu katanya mau memperjuangkan nasib rakyat kecil, buktinya mana? Aku lihat yang miskin makin miskin dan yang kaya semakin kaya.”
Perjalanan dilanjutkan, mengingat matahari yang sudah tidak bersahabat ingin cepat cepat pulang karena sudah sedikit lapar. Tidak kalah dahsyat perasaan anak muda tadi yang sudah menunggu dua puluh tahun setelah burung kecilnya disunat. Di tempat lain nampak sekrumunan orang dengan perasaan cemas setelah mendengar pegawai pencatat nikah mau melanjutkan tugasnya dilain tempat.
“Tunggu sebentar pak, mereka sebentar lagi datang,” kata pak Udin sambil gemetaran melihat pegawai tadi yang berkumis tebal dengan peci agak sedikit miring. Maklum pak Udin seorang pedagang bakso keliling yang setiap harinya melayani pembeli dengan ikhlas tidak terbiasa mengecewakan pelanggan. Dengan sedikit lelah dan gelisah Ia berusaha menenangkan semua tamu undangan. Benar perkataan pak Udin, rombongan konvoi itu tiba setelah satu jam. Satu persatu turun dari motornya, di tengah keramaian penonton berbaju batik mengenakan sarung dan peci. “Alhamdulillah,” syukur pak Udin di dalam batinnya. Tak menunggu lama acara itu akan segera dilaksanakan. Sebuah acara sakral awal dari sebuah perjalanan hidup yang sebenarnya, kata-kata manis dan pujian tidak lagi penentu utama ketentraman sebuah jiwa.
Pak Udin menghapiri putrinya yang duduk bingung dan gembira melihat pahlawan hatinya muncul dihadapannya. Pahlawan yang selalu marah dan murka ketika ada penjajah singgah di hatinya. Hari itu pun hari pertama kali putri pak Udin mengawali hidup setelah sekian lama hidup di bawah bayangan Ibunya. Nasihat dan pelajaran yang selama ini diperoleh kurang lebih dua puluh lima tahun dari orang tuanya akan ia praktikan diawal kehidupannya. “Pak Udin, apa semuanya sudah siap?” Tanya pegawai pencatat itu. Acara itu pun akhirnya berlangsung lancar. Namun langit kala itu sedikit menjegal matahari yang ingin menyapa kerumunan orang disana. Tiba-tiba langit membentak sekuat-kuatnya seperti aliran listrik berkekuatan jutaan volt menyambar pohon rambutan di samping rumah pak Udin. Situasi kekacauan terjadi. Langit yang begitu marahnya hingga meneteskan air matanya yang begitu deras membuat semua orang kalangkabut meninggalkan jamuan daging rendang komplit dengan opor ayam yang tak terasa lezat. Mereka  hanya ingin keluar dari amukan raksasa kegelapan yang kelaparan.
Sementara itu, anak muda yang sempat ingat dengan wejangan orang tuanya, “Nak, jika kamu memulai hidup dengan orang sebrang kali, kau harus ingat nak, jangan sekali-kali kau langkahi kali itu.” Kata ibunya. “Memangnya kenapa bu?” sahutnya. “Ah, tidak apa, yang penting ingat saja apa pesan ibumu ini”. Dalam keadaan masih termenung Ia kaget, tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan yang gelap dipenuhi semerbak hiasan dupa yang menyengat. Membuat bulu kuduknya semakin lebat. “Hai anak manusia!, kenapa kau langgar pantangan dari ibumu?, apakah kau ingin seperti mereka menjadi anak durhaka?” Tanya sesosok bayangan hitam di depannya. “Tidak aku tidak bermaksud durhaka pada ibuku, pergi! Pergi kamu!” dengan sekejap bayangan hitam itu hilang diantara lampu kamar yang menggantung di langit.
“Nak, bangun hari sudah siang, apa kamu tidak berangkat kerja?”
“Oh, iya bu.., jam berapa sekarang?”
“Sudah jam delapan nak..” Jawab ibunya “Memangnya ada apa?”
“Ndak bu, aku tadi bermimpi, seolaholah kejadian itu nyata. Aku teringat kata ibu dulu bahwa kalau kita menikah dengan orang Kajen kita tidak boleh melitas di atas kali Ketepeng, kita harus memutar melewati hulu mata airnya di desa Tambakroto.”
Itulah sepenggal kisah yang diwariskan secara turuntemurun mulai dari zamannya eyang Siti hingga mbak Serli.

Artikel Terkait

Cerita Bermuatan Lokal | Gading yang Tersesat di Kali Ketepeng |
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email